Sunday, March 13, 2016

Reklamasi dan Kepentingan Kapital



Sejumlah kota di Indonesia tengah gencar mendorong proyek reklamasi pantai. Beriringan itu datang hujan kritik yang mempertanyakan tujuan dan manfaat dari proyek reklamasi tersebut bagi rakyat banyak.
Ada puluhan daerah pesisir yang sedang dan sebentar lagi akan direklamasi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Palu, Pantai Marina Semarang, Teluk Balikpapan, Pantai Kenjer Surabaya, teluk Benoa Bali, Pantai Serio Manado dan Pantai Losari Makassar.
Berbagai alasan pun dijejalkan untuk memuluskan proyek ini. Mulai dari dalih penanggulangan banjir, perluasan daratan, hingga manfaat ekonomis.
Tetapi tidak sedikit juga yang melancarkan kritik. Reklamasi jelas merusak lingkungan, menghancurkan ekosistem laut, penaikan permukaan air laut, menghilangkan mata pencaharian penduduk/nelayan, ancaman abrasi, dan lain-lain.
Reklamasi mungkin membawa manfaat ekonomis. Tetapi ini masih ada pertanyaan lanjutan: manfaat ekonomis untuk siapa?
Wacana Pembangunanisme
Kendati banyak dikritik dan mewariskan banyak kegagalan, wacana pembangunanisme masih digandrungi oleh banyak pengambil kebijakan di Indonesia.
Pembangunanisme memang pernah jaya di masa Orde baru. Ditopang oleh tiga mantra: stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Sejak itu, pembangunan—terutama pembangunan fisik–identik dengan kemajuan. Kehadiran pabrik-pabrik dari luar, gedung-gedung pencakar langit, pusat-pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya, dianggap sebagai perlambang kemajuan.
Tetapi, pembangunan fisik semata belum tentu berjalan beriringan dengan kemakmuran rakyat. Dari orba kita tahu, pembangunan melahirkan ketimpangan pembangunan (timur-barat, jawa-luar jawa, kota-desa) dan ketimpangan ekonomi. Penjelasannya sederhana: semua proyek pembangunan fisik itu hanya melayani kepentingan investor alias pemilik modal.
Pembangunan fisik semata melupakan pembangunan manusia: pendidikan, kesehatan, pangan, kebudayaan, dan lain-lain. Pembangunanisme Orba juga harus dibayar mahal: pemberangusan demokrasi, pelanggaran HAM, hancurnya karakter bangsa, dan ketergantungan pada utang luar negeri.
Sayang, pengalaman pahit itu tidak membuat kita belajar. Sekarang masih banyak pengambil kebijakan, dari Presiden hingga kepala daerah, masih terobsesi pada pembangunan fisik semata. Dan parahnya lagi, itu semua digantungkan pada investor asing.
Satu dampak dari pembangunanisme yang masih bertahan dan terus dipupuk hingga sekarang adalah ketimpangan antara kota dan desa.
Ketimpangan ini jelas terlihat dari pembangunan fisik, misalnya gedung-gedung tinggi, jalan raya, industri dan lain lain, yang hanya berada dan berpusat di suatu kawasan saja. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Cong (2002) bahwa semua ibukota di Asia Tenggara pastilah kota terbesar di negaranya. Proses urbanisasi terkonsentrasi di kota-kota utama.
Pembangunan yang berkonsentrasi di kota tidak hanya mendorong penumpukan aktivitas bisnis semata tetapi juga manusia. Ini yang mendorong isu ketersediaan lahan menjadi mencuat. Dan, ironisnya, pikiran pendek para pengambil kebijakan mencoba menjawabnya dengan satu kata: reklamasi!
Waterfront City
Kota-kota besar di Indonesia merupakan daerah yang berada di tepian pantai (waterfront city) karena dulunya merupakan kota-kota pelabuhan, baik pra-kolonial maupun colonial, yang menjadikan kawasan ini sangat vital bagi pertumbuhan dan pergerakan ekonomi dan politik kota. Tidak mengherankan juga, kawasan ini menjadi incaran investor untuk menanamkan modalnya.
Kawasan pesisir menjadi kawasan primadona dalam menanamkan investasi di bidang jasa dan niaga. Ini ditandai dengan berdirinya hotel, ruko, pusat perbelanjaan, dan perumahan elit di kawasan pesisir.
Pesisir, menurut UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut.
Reklamsi ruang pesisir
Reklamasi, menurut Pepres Nomor 112 tahun 2012, adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumberdaya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan ekonomi dengan cara pengurugan,pengeringan lahan atau drainase.
Belum ada data yang pasti kapan sebenarnya proses reklamasi pantai dilaksanakan untuk pertama kalinya di Indonesia. Tetapi data awal yang penulis dapatkan di salah satu media disebutkan bahwa reklamasi pernah dilakukan oleh VOC di sekitar tahun 1621 untuk mengantisipasi banjir rob yang menenggelamkan Pos Pertahanan VOC di Batavia.
Dalam perkembanganya reklamasi tidak untuk menghadapi banjir, tetapi lebih ke soal ekonomis-bisnis. Untuk memahami ini, ada baiknya menyimak penjelasan teoritis marxis terkenal, David Harvey.
Menurut Harvey (2010), persoalan pembangunan di negara dunia ketiga ini tidak lepas dari apa yang di sebut sebagai upaya mengatasi krisis overakumulasi dalam sistem kapitalisme. Krisis overakumulasi menganggap ketiadaan kesempatan bagi investasi yang menguntungkan sebagai problem yang fundamental.
Dan sebagaimana yang telah kita lihat dalam kasus Spatio-temporal fix, ekspansi geografi dari kapitalisme yang merupakan fondasi dari banyaknya aktivitas imperialistik sangat bermanfaat untuk menstabilkan sistem kapitalisme persis karena ekspansi itu membukakan permintaan akan barang-barang investasi maupun barang konsumsi diberbagai tempat.
Akses ke input-input yang lebih murah, juga meluasnya akses pasar, menjamin proses akumulasi kapital terus berkesinambungan. Impilikasinya, teritori-teritori baru haruslah dibuka secara paksa bukan saja untuk perdagangan, namun juga untuk memungkinkan kapital untuk berinvestasi didalam usaha-usaha yang menguntungkan dengan memanfaatkan tenaga kerja murah, bahan mentah, tanah yang berbiaya rendah dan seterusnya.
David Harvey mencoba melihat peran pemodal dalam mempengaruhi wajah ruang (lanskap geografis) seperti pernyataanya berikut ini: “…para kapitalis (pemodal) individual mengejar kepentingan kompetitif dengan memanfaatkan struktur spasial (ruang) ini dan karena itu cenderung untuk tertarik atau terdorong untuk bergerak ke lokasi-lokasi dimana biaya-biayanya lebih rendah. Keuntungan keuntungan lokasi memainkan suatu peran yang sama bagi kapitalis-kapitalis individual sebagaimana peran teknologi dan dalam situasi-situasi tertentu keuntungan lokasi bisa mensubtitusi keuntungan teknologi….”
Dari sinilah kita mencoba memahami arti penting reklamasi bagi kepentingan kapital. Pertama, semakin terbatasnya ketersediaan lahan di kota-kota besar, ditambah lagi harganya yang membumbung tinggi, menyebabkan para investor beralih ke lahan reklamasi. Terutama bagi investor di sektor properti.
Kedua, kapital selalu menghendaki dan mendorong penguasaan sumber daya secara eksklusif, termasuk teritori tertentu, entah disulap menjadi “kota kaum elit” atau kawasan bisnis berskala internasional. Di situ nanti akan berdiri perumahan/apartemen elit, hotel-hotel, pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan lain-lain. Dan ini menjadi mungkin melalui proyek-proyek reklamasi. Lalu, kota baru atau kawasan bisnis baru di atas tanah reklamasi akan mendorong kenaikan harga properti di daerah sekitarnya.
Jadi, alih-alih bicara kepentingan orang banyak, reklamasi justru mendorong privatisasi sumber daya. Kawasan pantai, yang dulu menjadi sumber daya milik publik, sekarang ditimbun dengan tanah/pasir dan diubah menjadi kawasan bisnis (investor dan kaum kaya).

Related Posts

Reklamasi dan Kepentingan Kapital
4/ 5
Oleh