Sejumlah
kota di Indonesia tengah gencar mendorong proyek reklamasi pantai. Beriringan
itu datang hujan kritik yang mempertanyakan tujuan dan manfaat dari proyek
reklamasi tersebut bagi rakyat banyak.
Ada puluhan daerah pesisir yang
sedang dan sebentar lagi akan direklamasi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Palu,
Pantai Marina Semarang, Teluk Balikpapan, Pantai Kenjer Surabaya, teluk Benoa
Bali, Pantai Serio Manado dan Pantai Losari Makassar.
Berbagai alasan pun dijejalkan untuk
memuluskan proyek ini. Mulai dari dalih penanggulangan banjir, perluasan
daratan, hingga manfaat ekonomis.
Tetapi tidak sedikit juga yang
melancarkan kritik. Reklamasi jelas merusak lingkungan, menghancurkan ekosistem
laut, penaikan permukaan air laut, menghilangkan mata pencaharian
penduduk/nelayan, ancaman abrasi, dan lain-lain.
Reklamasi mungkin membawa manfaat
ekonomis. Tetapi ini masih ada pertanyaan lanjutan: manfaat ekonomis untuk
siapa?
Wacana Pembangunanisme
Kendati banyak dikritik dan
mewariskan banyak kegagalan, wacana pembangunanisme masih digandrungi oleh
banyak pengambil kebijakan di Indonesia.
Pembangunanisme memang pernah jaya
di masa Orde baru. Ditopang oleh tiga mantra: stabilitas nasional,
pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Sejak itu,
pembangunan—terutama pembangunan fisik–identik dengan kemajuan. Kehadiran
pabrik-pabrik dari luar, gedung-gedung pencakar langit, pusat-pusat
perbelanjaan, dan lain sebagainya, dianggap sebagai perlambang kemajuan.
Tetapi, pembangunan fisik semata
belum tentu berjalan beriringan dengan kemakmuran rakyat. Dari orba kita tahu,
pembangunan melahirkan ketimpangan pembangunan (timur-barat, jawa-luar jawa,
kota-desa) dan ketimpangan ekonomi. Penjelasannya sederhana: semua proyek
pembangunan fisik itu hanya melayani kepentingan investor alias pemilik modal.
Pembangunan fisik semata melupakan
pembangunan manusia: pendidikan, kesehatan, pangan, kebudayaan, dan lain-lain.
Pembangunanisme Orba juga harus dibayar mahal: pemberangusan demokrasi,
pelanggaran HAM, hancurnya karakter bangsa, dan ketergantungan pada utang luar
negeri.
Sayang, pengalaman pahit itu tidak
membuat kita belajar. Sekarang masih banyak pengambil kebijakan, dari Presiden
hingga kepala daerah, masih terobsesi pada pembangunan fisik semata. Dan
parahnya lagi, itu semua digantungkan pada investor asing.
Satu dampak dari pembangunanisme
yang masih bertahan dan terus dipupuk hingga sekarang adalah ketimpangan antara
kota dan desa.
Ketimpangan ini jelas terlihat dari
pembangunan fisik, misalnya gedung-gedung tinggi, jalan raya, industri dan lain
lain, yang hanya berada dan berpusat di suatu kawasan saja. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikatakan Cong (2002) bahwa semua ibukota di Asia Tenggara
pastilah kota terbesar di negaranya. Proses urbanisasi terkonsentrasi di
kota-kota utama.
Pembangunan yang berkonsentrasi di
kota tidak hanya mendorong penumpukan aktivitas bisnis semata tetapi juga
manusia. Ini yang mendorong isu ketersediaan lahan menjadi mencuat. Dan,
ironisnya, pikiran pendek para pengambil kebijakan mencoba menjawabnya dengan
satu kata: reklamasi!
Waterfront City
Kota-kota besar di Indonesia
merupakan daerah yang berada di tepian pantai (waterfront city) karena
dulunya merupakan kota-kota pelabuhan, baik pra-kolonial maupun colonial, yang
menjadikan kawasan ini sangat vital bagi pertumbuhan dan pergerakan ekonomi dan
politik kota. Tidak mengherankan juga, kawasan ini menjadi incaran investor
untuk menanamkan modalnya.
Kawasan pesisir menjadi kawasan
primadona dalam menanamkan investasi di bidang jasa dan niaga. Ini ditandai
dengan berdirinya hotel, ruko, pusat perbelanjaan, dan perumahan elit di
kawasan pesisir.
Pesisir, menurut UU No.27 tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di
darat dan di laut.
Reklamsi ruang pesisir
Reklamasi, menurut Pepres Nomor 112
tahun 2012, adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan
manfaat sumberdaya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan ekonomi dengan cara
pengurugan,pengeringan lahan atau drainase.
Belum ada data yang pasti kapan
sebenarnya proses reklamasi pantai dilaksanakan untuk pertama kalinya di
Indonesia. Tetapi data awal yang penulis dapatkan di salah satu media
disebutkan bahwa reklamasi pernah dilakukan oleh VOC di sekitar tahun 1621 untuk
mengantisipasi banjir rob yang menenggelamkan Pos Pertahanan VOC di
Batavia.
Dalam perkembanganya reklamasi tidak
untuk menghadapi banjir, tetapi lebih ke soal ekonomis-bisnis. Untuk memahami
ini, ada baiknya menyimak penjelasan teoritis marxis terkenal, David Harvey.
Menurut Harvey (2010), persoalan
pembangunan di negara dunia ketiga ini tidak lepas dari apa yang di sebut
sebagai upaya mengatasi krisis overakumulasi dalam sistem kapitalisme. Krisis
overakumulasi menganggap ketiadaan kesempatan bagi investasi yang menguntungkan
sebagai problem yang fundamental.
Dan sebagaimana yang telah kita
lihat dalam kasus Spatio-temporal fix, ekspansi geografi dari
kapitalisme yang merupakan fondasi dari banyaknya aktivitas imperialistik
sangat bermanfaat untuk menstabilkan sistem kapitalisme persis karena ekspansi
itu membukakan permintaan akan barang-barang investasi maupun barang konsumsi
diberbagai tempat.
Akses ke input-input yang lebih
murah, juga meluasnya akses pasar, menjamin proses akumulasi kapital terus berkesinambungan.
Impilikasinya, teritori-teritori baru haruslah dibuka secara paksa bukan saja
untuk perdagangan, namun juga untuk memungkinkan kapital untuk berinvestasi
didalam usaha-usaha yang menguntungkan dengan memanfaatkan tenaga kerja murah,
bahan mentah, tanah yang berbiaya rendah dan seterusnya.
David Harvey mencoba melihat peran
pemodal dalam mempengaruhi wajah ruang (lanskap geografis) seperti pernyataanya
berikut ini: “…para kapitalis (pemodal) individual mengejar kepentingan
kompetitif dengan memanfaatkan struktur spasial (ruang) ini dan karena itu
cenderung untuk tertarik atau terdorong untuk bergerak ke lokasi-lokasi dimana
biaya-biayanya lebih rendah. Keuntungan keuntungan lokasi memainkan suatu peran
yang sama bagi kapitalis-kapitalis individual sebagaimana peran teknologi dan
dalam situasi-situasi tertentu keuntungan lokasi bisa mensubtitusi keuntungan
teknologi….”
Dari sinilah kita mencoba memahami
arti penting reklamasi bagi kepentingan kapital. Pertama, semakin terbatasnya
ketersediaan lahan di kota-kota besar, ditambah lagi harganya yang membumbung
tinggi, menyebabkan para investor beralih ke lahan reklamasi. Terutama bagi
investor di sektor properti.
Kedua, kapital selalu menghendaki
dan mendorong penguasaan sumber daya secara eksklusif, termasuk teritori
tertentu, entah disulap menjadi “kota kaum elit” atau kawasan bisnis berskala
internasional. Di situ nanti akan berdiri perumahan/apartemen elit,
hotel-hotel, pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan lain-lain. Dan ini menjadi
mungkin melalui proyek-proyek reklamasi. Lalu, kota baru atau kawasan bisnis
baru di atas tanah reklamasi akan mendorong kenaikan harga properti di daerah
sekitarnya.
Jadi, alih-alih bicara kepentingan
orang banyak, reklamasi justru mendorong privatisasi sumber daya. Kawasan
pantai, yang dulu menjadi sumber daya milik publik, sekarang ditimbun dengan
tanah/pasir dan diubah menjadi kawasan bisnis (investor dan kaum kaya).
Reklamasi dan Kepentingan Kapital
4/
5
Oleh
ok