Sejak dibangku sekolah
menengah pertama, dari semua pelajaran dibangku sekolah, pelajaran sejarah lah
yang paling menarik perhatian saya, belajar sejarah seperti kembali ke masa
lalu, apalagi jika menyangkut sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam
menghadapi penjajah Belanda. Terkadang saya juga membayangkan saya ikut
bertempur dalam kancah perang tersebut, kesenangan ini rupanya berlanjut terus
sampai dibangku kuliah. Selain bacaan jenis yang lain tentu, buku sejarah
rasanya menjadi sesuatu yang prioritas bagi saya.
Setelah masuk ke kampus
walaupun tak mengambil jurusan sejarah namun saya berkesempatan berkenalan dengan
seorang teman yang memperkenalkan cara yang asik mempelajari sejarah yakni
melalui novel sejarah, mulailah saya berburu novel-novel yang banyak
berhubungan dengan sejarah.
Selain sejarah dalam
bentuk tertulis, saya juga sangat senang mendengar sejarah lisan, mungkin saya
jenis orang yang suka mendengarkan, maka setiap orang yang saya temui terutama
orang tua, saya selalu mencoba bertanya tentang kisah-kisah tentang mereka
dimasa lalu.
Buku tentang G 30 S
Dari berbagai
literature tentang sejarah yang saya baca khususnya sejarah bangsa Indonesia,
Peristiwa G 30 September yang paling menarik perhatian saya karena kontroversial,
peristiwa ini ada dalam buku pelajaran sekolah, G 30 S juga punya versi Film
yang diputar tiap tahun dan menjadi tontonan wajib waktu itu walaupun pasca
tahun 1998 film itu sudah tak ditayangkan lagi.
Ketertarikan saya
bertambah ketika dibangku kuliah beberapa buku yang saya baca tentang peristiwa
tersebut sangat berbeda dengan apa yang ditayangkan dalam film tersebut, sebut
saja satu buku yang saya lupa pengarangnya kalau nda salah buku tersebut
berjudul “yang berlawan” buku tersebut membikin saya tercengang karena sangat
kontras dengan gambaran yang saya dapat selama ini.
Tidak berhenti disitu,
beberapa tahun kemudian saya dapat buku tua kalau tidak salah kepunyaan seorang
teman judulnya “Pledoi Kol. A. Latief” ditulis langsung oleh salah seorang
pelaku penculikan yang merupakan pembelaannya dihadapan pengadilan. Di bab awal
digambarkan sedikit profil dan profesi penulis selama aktif dalam ketentaraan,
baik dalam melawan Belanda maupun dalam masa pendudukan Jepang.
Buku tersebut merupakan
naskah pembelaan Kol. A. Latief ketika dihadapkan ke pengadilan militer
‘khusus’ di tahun 1978, setelah ditahan di sel isolasi selama 13 tahun atas
tuduhan subversi. Naskah ini baru boleh dibaca oleh bangsa Indonesia setelah
mengendap selama 22 tahun, setelah lengsernya penguasa Orde Baru, Soeharto.
Semenjak di tangkap pada tanggal 11 Oktober 1965, Kol Latief mengalami berbagai
macam siksaan agar mengakui semua tudahan yang disematkan kepadanya. Dalam
pledoi-nya, Kol. Latief mengungkap beberapa fakta pada peristiwa pemberontakan
G 30 S yang berbeda dengan teks-teks dalam buku sejarah pemerintah.
Buku ketiga yang tak
kalah menariknya adalah buku yang ditulis Seorang Sejarawan asal Kanada Jhon
Roosa judulnya kalau tak salah “Dalih Pembunuhan Massal” ‘Gerakan 30 September
dan Kudeta Suharto’ namun sangat disayangkan buku tersebut dilarangan beredar
berdasarkan atas Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia No.
INS-002/A/JA/12/2009.
Jhon Roosa memulai
pengatarnya dengan mengungkap salah satu sumber paling andal dari tentang G 30
S adalah visum et repertum yang
dilakukan para dokter di RS pusat angkatan darat Gatot Subroto terhadap jasad 7
perwira yang ditemukan di Lubang buaya. Menurut Roosa Justru sumber inilah yang
tidak diumumkan oleh pemerintah Soeharto, salinan itu tersenbunyi hingga tahun
1980-an. Dari laporan itu diketahui bahwa apa yang dilaporkan di Media yang di
Kontrol AD pada akhir 1965 tentang bagaimana perwira dibunuh ternyata palsu.
Para perwira tersebut terbunuh oelh tembakan dan luka-luka tusukan bayonet,
mereka tidak diiris ribuan kali dengan silet, mata tidak dicungkil meraka pun
tidak dimutilasi.
Menurut Roosa Soeharto
menggunakan G 30 S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno, sambil
melambungkan dirinya kekursi kepresidenan. Pengambilalihan kekuasaan Negara
oleh Soeharto secara bertahap yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak,
dilakukanya dibawah selubung usaha untuk mencegah kudeta.
Yang menarik dalam buku
ini adalah karna dalam salah satu bab dibuku ini terdapat analisis yang ditulis
oleh salah satu konspirator G 30 S yakni Brigjen Suparjo sebuah analisis Posmortem tentang kegagalan mereka,
tulisan ini diberi judul “beberapa pendapat jang mempengaruhi Gagalnya ‘G-30-S’
Dipandang dari sudut Militer”. Ini satu-satunya dokumen yag tersedia sampai
sekarang yang ditulis oleh pelaku G 30 S sebelum ia tertangkap.
Film G 30 S
Film G 30 S PKI yang
sekarang ini banyak dibicarakan Publik karena adanya instruksi dari Panglima
TNI untuk Nonton bareng yang kemudian ditanggapi berbeda oleh Presiden yang
menyatakan sebaiknya di buatkan versi milenialnya.
Hal ini diakui sendiri
oleh Jajang C Noer dalam tirto.id yang mengakui bahwa film G 30 S buatan
suaminya tersebut untuk scenario film pada tahun 1984 tidak sepenuhnya factual.
Sebab, data yang dipakai tersebut diberikan oleh pemerintah orde baru melalu
Nugroho Notosusanto, saat melakukan riset pun, kata jajang, sangat sulit
mencari narasumber dari pihak PKI yang bisa dimintai keterangan dan observasi.
Film yang dibuat tahun
1980-an ini Menurut sejarawan Bonnie Triyana adalah film propaganda politik
dengan tujuan merawat trauma massa terhadap komunisme dan melegtimasi kekuasaan
Soeharto lewat sejarah.
Karena adanya sebagian
kalangan yang menyerukan untuk menonton films G 30 S PKI versi orba tersebut
alangkah baiknya jika film tersebut disandingkan dengan dua film karya sineas
dari Swedia Joshua Oppenheimer yang juga bertema tentang persitiwa 1965
Film “Act of Killing” Jagal
yang mengisahkan tentang pengakuan sang Jagal dalam pembataian anggota PKI yang
ada di Sumatra Utara film ini pun masuk dalam Nominasi Oscar untuk kategori
film documenter film dengan cinematografi yang sangat baik ini bercerita
tentang para pelaku pembantaian dalam tragedy 1965 di Indonesia, dimana menurut
data komnas HAM sekitar 300 ribu-3juta jatuh korban.
Jika film Jagal
bercerita dari sudut pelaku pemabantaian, maka film kedua Joshua justru
bercerita dari sudut korban, film ini pantas diacungi jempol karena berhasil
mempertemukan antara korban dan pelaku dalam satu frame, suatu kerja yang luar
biasa, alhasil film kedua ini pun masuk dalam nominasi Oscar.
Sebenarnya ada beberapa
film lagi yang bisa jadi alternative, diantaranya berjudul “ The shadow play”
garapan dari sineas dari Australia dan kuburan massal “mass grave” yang bisa
menjadi rujukan ketika ingin mengetahui lebih jauh tentang G 30 S bukan hanya
pada hari H peristiwa tetapi juga setelahnya dan dampak yang ditimbulkanya.
Paparan diatas
bermaksud agar kita lebih jernih melihat sejarah, utamanya pada peristiwa 1965
yang telah cukup memakan korban dan agar melihat suatu peristiwa sejarah tidak
dari satu sisi saja tetapi melihat dari berbagai sisi serta agar menjadi pembelajaran bangsa kedepan
khusunya dalam praktek politik dengan cara penggunaan kekerasan tentunya sangat
merugikan dan hanya memakan korban.
Sehubungan dengan adanya isu kebangkitan komunis saya kira
itu isapan jempol semata, situasi politik dunia tidak lagi seperti tahun 1960,
yakni era perang dingin dan blok barat dan blok timur. Pasca jatunya Unisoviet
maka hampir dikatakan bahwa Negara pusat komunisme sudah hancur, jadi jika ada
ada yang berbicara mengenai kebangkitan komunisme kembali saya pikir itu hanya
untuk kepentingan politik semata.
Melihat G 30 S Secara Jernih
4/
5
Oleh
ok