Hampir
semua kalangan menganggap pembangunan infrastuktur adalah kunci dari suksesnya
pembangunan, pembangunan infrastruktur di semua lokasi akan menjadi jalan
keluar dari kemiskinan, makanya tidak mengherankan jika pemerintahan Jokowi-Jk
juga meneruskan kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Pemerintahan
Jokowi-Jk dalam tiga tahun terakhir menggenjot pembangunan infrastruktur, mulai
dengan membangun Tol laut dalam hal ini pembangunan dan perluasan pelabuhan,
kemudian pembangunan Jalan Tol Trans Jawa dan Sumatara serta pembangunan Kereta
Api baik di Jawa maupun luar Jawa.
Namun
dalam kampanye pada pemilihan lalu, Presiden terpilih ini berjanji tidak akan
melanjutkan proyek MP3EI seperti pada era SBY, menurutnya seperti yang dikutip
dari kompas.com orientasi pemerintahannya berbeda dia lebih memprioritaskan ke
pertanian, kedaulatan pangan, dan maritim. Itu sudah prioritas kami," ujar
Jokowi.
Namun
setelah 3 tahun pemerintahanya, Presiden Jokowi
nampaknya memilih melanjutkan proyek MP3EI ini. Visi maritim dan
pertanian jokowi seakan tercoreng dengan prioritas program yang justru lebih
banyak berorientasi kepada pembangunan Jalan raya dan Tol, sehingga pembangunan
untuk kedaulatan pangan dan kemaritiman justru terkucilkan. Pemerintahan
jokowi-Jk lebih banyak mengalokasikan ke pembangunan Tol darat (trans Jawa dan
Sumatra) serta pembangunan kereta api cepat bandung Jakarta dan serta beberapa
proyek kereta api diluar pulau jawa dibanding membangun infrastruktur dasar
seperti sekolah dan puskesmas.
Infrastruktur yang dibiayai Utang
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa infrastruktur di negara kita ini dibiayai oleh utang
luar negeri, diera orde baru misalnya Jepang lewat “JICA” membantu pembangunan
infrastruktur khususnya jalan raya dan jalan tol di hampir seluruh wilayah
indonesia. Bantuan ini tentu tidak gratis makanya setelah jalan raya terbangun,
Jepang melanjutkanya dengan menjual kendaraanya (mobil dan Motor) di Indonesia.
Diera
pemerintahan Jokowi-Jk nampaknya pembangunan akan terus mangadalkan utang, dari
laporan bisnis.Com misalnya pemerintah jepang resmi menggelontorkan pinjaman
sejumlah 140,051 Milliar Yen atau senilai 15,77 Trilliun untuk membiayai
pembangunan untuk membiayai Massa Rapid Transport (MRT) di Jakarta dan Proyek Transmisi
listrik yang pusatnya dibangun di Sumatra Selatan untuk mengalirkan listrik
jawa dan Sumatera.
Namun
dibawah pemerintahan Jokowi-Jk sendiri ada perubahan yang cukup signifikan dari
negara yang selama ini memberi Indonesia bantuan yakni Jepang, pemerintah
Jokowi-Jk seperti memberi ruang yang lebih besar kepada Tiongkok untuk
membangun infrastruktur di dalam negeri, dari situs Sekretariat kabinet
disebutkan, Proyek infrastruktur yang dimaksud antara lain pembangunan 24
Pelabuahan, 15 bandar Udara, pembangunan jalan sepanjang 1000 kilometer (km),
pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 kilometer km, serta pembangunan
pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt(MW), yang terakhir proyek
kereta Api cepat, Jakarta – Bandung, Jakarta- Surabaya.
Kenapa
tiongkok, Karena negara ini sedang mengalami kelesuan ekonomi, sehingga tidak
heran Cina menggelontorkan bantuan ke berbagai negara, baik di kawasan Asia
ataupun Afrika, bantuan ini tentu tidak gratis, tetapi dibangun dengan model
konsesi.
Proyek
infrastruktur yang mengandalkan utang itu terus akan menumpuk utang luar negeri
Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah utang luar negeri yang ditarik
swasta dan pemerintah pada Juli 2015 sebesar US$ 303,7 miliar atau
mencapai Rp 4.376,3 triliun (hitungan kurs: Rp 14.410/USD).
Pembanguan infrastruktur untuk melayani modal asing?
Pemerintah
berargumen pembangunan infrastruktur itu berguna bagi proses industrialisasi,
hal ini menjadi semacam dasar untuk menggerakkan industrialisasi yang kemudian menaikkan
pertumbuhan ekonomi hingga mampu membuka lapangan kerja, namun benarkah
demikian adanya?
Dari
zaman kolonial sampai orde baru nampaknya pembangunan infrastruktur memang
hanya melayani modal asing, kenapa demikian, dalam roman Pramodya Ananta Toer
dijelaskan misalnya bangaimana pembangunan jalan raya pos yang digagas oleh
Daendles terlihat ambisi kaum colonial membangun jalan dari Anyer ke Panarukan
untuk mengalirkan modal dari perkebunan-perkebunan menuju ke Pelabuhan dan
kemudian dibawah ke Eropa.
Pada
era Politik etis pun demikian dengan kompensasi dengan tiga program yakni,
edukasi dan Imigrasi juga terlihat bahwa ini juga untuk kepentingan modal VOC
untuk semakin mengeruk kekayaan alam indonesia. Irigasi misalnya ternyata bukan
untuk mengairi sawah-sawah petani namun untuk mengairi perkebunan besar milik
colonial.
Sempat
terhenti diera Bung karno, namun dilanjutkan kembali di orde baru, dengan
keluarnya UU PMA No. 1 tahun 1967, ini dilanjutkan dengan berbagai kerjasama
orde baru baik dengan Jepang maupun amerika dalam membangun infrastruktur
khususnya Jalan raya, jalon tol, kereta api dan lain lain
Infrastruktur untuk rakyat
Harus
diakui bahwa beberapa kawasan di Indonesia masih membutuhkan pembangunan
infrastruktur, seperti wilayah timur Indonesia, khususnya infrastruktur dasar,
namun jika yang dibangun itu justru sebaliknya (bukan infrastruktur dasar) maka
timbul pertanyaan. Misalnya pembangunan kereta api cepat Jakarta bandung, apakah
memang betul dibutuhkan atau hanya sekedar keinginan? Apalagi itu ketika
menggunakan modal asing alias ngutang
Bung
Karno sebetulnya tidak mempersoalkan proyek infrastruktur dengan bantuan modal
asing. Asalkan, hal tersebut berorientasi pada kepentingan nasional kita dan
tidak menggadaikan negara kita.
Nah ini jadi masalah
ketika pembangunan ini hanya untuk kepentingan bangsa asing, jalan dan jembatan
kita butuhkan namun pembangunannya tentunya harusnya dalam kerangka membangun
industri nasional. Pembangunan
infrastruktur yang mendesak adalah terutama infrastruktur yang berkaitan dengan
layanan publik dan infrastruktur industri.
Pembangunan infrastruktur seharusnya
sejalan dengan amanah konstitusi kita UUD 1945 dan khusunya Pasal 33, jika tidak pembangunan infrastruktur
hanya menjadi ladang pengambilan untung bangsa lain.
Penulis
La Ode Achmad Itsar
Alumni UVRI Makassar
Alumni UVRI Makassar
Dilema Pembangunan Infrastruktur
4/
5
Oleh
ok