Sunday, November 12, 2017

Dilema Pembangunan Infrastruktur




Hampir semua kalangan menganggap pembangunan infrastuktur adalah kunci dari suksesnya pembangunan, pembangunan infrastruktur di semua lokasi akan menjadi jalan keluar dari kemiskinan, makanya tidak mengherankan jika pemerintahan Jokowi-Jk juga meneruskan kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Pemerintahan Jokowi-Jk dalam tiga tahun terakhir menggenjot pembangunan infrastruktur, mulai dengan membangun Tol laut dalam hal ini pembangunan dan perluasan pelabuhan, kemudian pembangunan Jalan Tol Trans Jawa dan Sumatara serta pembangunan Kereta Api baik di Jawa maupun luar Jawa.
Namun dalam kampanye pada pemilihan lalu, Presiden terpilih ini berjanji tidak akan melanjutkan proyek MP3EI seperti pada era SBY, menurutnya seperti yang dikutip dari kompas.com orientasi pemerintahannya berbeda dia lebih memprioritaskan ke pertanian, kedaulatan pangan, dan maritim. Itu sudah prioritas kami," ujar Jokowi.
Namun setelah 3 tahun pemerintahanya, Presiden Jokowi  nampaknya memilih melanjutkan proyek MP3EI ini. Visi maritim dan pertanian jokowi seakan tercoreng dengan prioritas program yang justru lebih banyak berorientasi kepada pembangunan Jalan raya dan Tol, sehingga pembangunan untuk kedaulatan pangan dan kemaritiman justru terkucilkan. Pemerintahan jokowi-Jk lebih banyak mengalokasikan ke pembangunan Tol darat (trans Jawa dan Sumatra) serta pembangunan kereta api cepat bandung Jakarta dan serta beberapa proyek kereta api diluar pulau jawa dibanding membangun infrastruktur dasar seperti sekolah dan puskesmas.

Infrastruktur yang dibiayai Utang
Sudah menjadi rahasia umum bahwa infrastruktur di negara kita ini dibiayai oleh utang luar negeri, diera orde baru misalnya Jepang lewat “JICA” membantu pembangunan infrastruktur khususnya jalan raya dan jalan tol di hampir seluruh wilayah indonesia. Bantuan ini tentu tidak gratis makanya setelah jalan raya terbangun, Jepang melanjutkanya dengan menjual kendaraanya (mobil dan Motor) di Indonesia.
Diera pemerintahan Jokowi-Jk nampaknya pembangunan akan terus mangadalkan utang, dari laporan bisnis.Com misalnya pemerintah jepang resmi menggelontorkan pinjaman sejumlah 140,051 Milliar Yen atau senilai 15,77 Trilliun untuk membiayai pembangunan untuk membiayai Massa Rapid Transport (MRT) di Jakarta dan Proyek Transmisi listrik yang pusatnya dibangun di Sumatra Selatan untuk mengalirkan listrik jawa dan Sumatera.
Namun dibawah pemerintahan Jokowi-Jk sendiri ada perubahan yang cukup signifikan dari negara yang selama ini memberi Indonesia bantuan yakni Jepang, pemerintah Jokowi-Jk seperti memberi ruang yang lebih besar kepada Tiongkok untuk membangun infrastruktur di dalam negeri, dari situs Sekretariat kabinet disebutkan, Proyek infrastruktur yang dimaksud antara lain pembangunan 24 Pelabuahan, 15 bandar Udara, pembangunan jalan sepanjang 1000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 kilometer km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt(MW), yang terakhir proyek kereta Api cepat, Jakarta – Bandung, Jakarta- Surabaya.
Kenapa tiongkok, Karena negara ini sedang mengalami kelesuan ekonomi, sehingga tidak heran Cina menggelontorkan bantuan ke berbagai negara, baik di kawasan Asia ataupun Afrika, bantuan ini tentu tidak gratis, tetapi dibangun dengan model konsesi.
Proyek infrastruktur yang mengandalkan utang itu terus akan menumpuk utang luar negeri Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah utang luar negeri yang ditarik swasta dan pemerintah pada Juli 2015 sebesar US$ 303,7 miliar atau mencapai Rp 4.376,3 triliun (hitungan kurs: Rp 14.410/USD).

Pembanguan infrastruktur untuk melayani modal asing?
Pemerintah berargumen pembangunan infrastruktur itu berguna bagi proses industrialisasi, hal ini menjadi semacam dasar untuk menggerakkan industrialisasi yang kemudian menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga mampu membuka lapangan kerja, namun benarkah demikian adanya?
Dari zaman kolonial sampai orde baru nampaknya pembangunan infrastruktur memang hanya melayani modal asing, kenapa demikian, dalam roman Pramodya Ananta Toer dijelaskan misalnya bangaimana pembangunan jalan raya pos yang digagas oleh Daendles terlihat ambisi kaum colonial membangun jalan dari Anyer ke Panarukan untuk mengalirkan modal dari perkebunan-perkebunan menuju ke Pelabuhan dan kemudian dibawah ke Eropa.
Pada era Politik etis pun demikian dengan kompensasi dengan tiga program yakni, edukasi dan Imigrasi juga terlihat bahwa ini juga untuk kepentingan modal VOC untuk semakin mengeruk kekayaan alam indonesia. Irigasi misalnya ternyata bukan untuk mengairi sawah-sawah petani namun untuk mengairi perkebunan besar milik colonial.
Sempat terhenti diera Bung karno, namun dilanjutkan kembali di orde baru, dengan keluarnya UU PMA No. 1 tahun 1967, ini dilanjutkan dengan berbagai kerjasama orde baru baik dengan Jepang maupun amerika dalam membangun infrastruktur khususnya Jalan raya, jalon tol, kereta api dan lain lain

Infrastruktur untuk rakyat
Harus diakui bahwa beberapa kawasan di Indonesia masih membutuhkan pembangunan infrastruktur, seperti wilayah timur Indonesia, khususnya infrastruktur dasar, namun jika yang dibangun itu justru sebaliknya (bukan infrastruktur dasar) maka timbul pertanyaan. Misalnya pembangunan kereta api cepat Jakarta bandung, apakah memang betul dibutuhkan atau hanya sekedar keinginan? Apalagi itu ketika menggunakan modal asing alias ngutang
Bung Karno sebetulnya tidak mempersoalkan proyek infrastruktur dengan bantuan modal asing. Asalkan, hal tersebut berorientasi pada kepentingan nasional kita dan tidak menggadaikan negara kita.
Nah ini jadi masalah ketika pembangunan ini hanya untuk kepentingan bangsa asing, jalan dan jembatan kita butuhkan namun pembangunannya tentunya harusnya dalam kerangka membangun industri nasional. Pembangunan infrastruktur yang mendesak adalah terutama infrastruktur yang berkaitan dengan layanan publik dan infrastruktur industri.
Pembangunan infrastruktur seharusnya sejalan dengan amanah konstitusi kita UUD 1945 dan khusunya Pasal 33, jika tidak pembangunan infrastruktur hanya menjadi ladang pengambilan untung bangsa lain.

Penulis
La Ode Achmad Itsar
Alumni UVRI Makassar






Related Posts

Dilema Pembangunan Infrastruktur
4/ 5
Oleh